Hearing Impairment

From the point of view of education, children with hearing imparment are those who have a certain degree of hearing loss. And the hearing loss affects the ability to anad speak develop language. When the degree of hearing loss is high, the person can be deaf. And when the intensity level is not too high the person is considere hard hearing.
The hearing loss can be devided into some thresholds. The meansureement of the hearing loss is decided by the use of audiometer. The mild hearing loss iss 26-54 Db, mederete is 55-69 dB, severe is 70-89 and profound is 90 dB and above.
The cause of hearing loss is based on the location of parts of the ear. Conductive losses are impairments in the conductive pathways in outher or middle ear. Conductive losss are  usually caused by empirical problem. When the problems happen in the inner part of the ear, the impairments are sensorineural problems. These are usually caused by hereditory factors.
Children with hearing impairment usually have problems in social and personality development. This is because of their disabillty in communication both in expressing and receiving the messages. And to help them there are two basic approaches, oral and manual approaches. Oral approach trains the to use their ability to understand and speak. While manual approach teaches them tu use sign language for communication. But nowadays these two approaches tand to be combined. This combination is called total communication.

The education program for the hearing impaired children is basically possible for the academic development. But some people tend to emphasize more on vocational skills. These two possible programs can be chosen depending on the ability and capability of the impaired child as an individual.
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Special Education

Special education is education for the exceptional children. The study of exceptional children is the study of differences because an exceptional child is diferrent in some ways from the average children. Exceptional children may have problems or special talents in thinking, seeing, hearing, speaking, socializing, or moving. More often than not such chindren have a combination of special abilities or disabilities. Because of special abilities or disabilities, these children require special education and related services to help them realize their full human potential. They need specially designed instruction that can fulfill their unique needs.
To help the exceptional children special meterials, teaching technique, equipments and/or facilities may be required. Visually impaired children, for instance, may need reading meerial in large print or Braille. Hearing impaired children mar need hearing aids or instruction in manual communication. Physically handicapped children may need wheel-chairs, ramps and other equipments. In addition to their individual facilities, they also need special services such as special transportation, psychological assessment, physical and occupation therapy, medical treatment, and counseling. All these can make special education effective.

Special education services may take place in two ways: integration or segregation. In the integration service, the exceptional child is treated together with normal peers in a certain range of integration setting depending on the child’s ability and degree of his or her problems. On the contrary, segregation follow the other way. An exceptional child is treated in a special school with other children of the same kind of handicapping conditions. Segregation can also bo conducted in an institution in which children with different handicapping condition get over all kinds of services. This kind of institution is considered as a place for rehabilitation center.
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Pengajaran Alternatif Bagi Penyandang Tuna Rungu Dan Tuna Wicara

            Menurut Smith (2009, hal. 283), terdapat tiga dasar pendekatan pengajaran alternatif bagi siswa dengan penyandang tuna rungu dan tuna wicara, tiga dasar itu adalah:

A.  Metode manual.

Metode manual terdisir dua komponen dasar, yaitu bahasa isyarat (sign language) dan finger spelling.
1.   Bahasa isyarat.  Sistem Isyarat Bahasa Indonesia yang dibakukan merupakan salah satu media yang membantu komunikasi sesama  tuna rungu dan tuna wicara ataupun komunikasi  tuna rungu dan tuna wicara di dalam masyarakat yang lebih luas. Wujudnya adalah tatanan yang sistematis bagi seperangkat isyarat jari, tangan, dan berbagai gerak untuk melambangkan kosa kata bahasa Indonesia. Isyarat yang dikembangkan di indonesia secara umum mengikuti tata/aturan isyarat sebagaimana yang telah dikemukakan mengenai aspek linguistik bahasa isyarat. Berikut adalah contoh bahasa isyarat:
Gambar 1. Bahasa isyarat
Keterangan : Bahasa Isyarat yang bermakna I Love You
1.   Abjad Jari (Finger Spelling/Finger Alphabet). 
Secara harafiah, abjad jari merupakan usaha untuk menggambarkan alpabet secara manual dengan menggunakan satu tangan. Berikut adalah contoh abjad jari:

Gambar 2. Abjad jari
Abjad jari adalah isyarat yang dibentuk dengan jari-jari tangan (tangan kanan atau tangan kiri) untuk mengeja huruf atau angka. Bentuk isyarat bagi huruf dan angka di dalam SIBI serupa dengan International Manual Alphabet. Abjad jari digunakan untuk mengisyaratkan nama diri, mengisyaratkan singkatan atau akromin , dan mengisyaratkan kata yang belum ada isyaratnya.

A.  Metode oral
Pendekatan oral menekankan pada pembimbingan ucapan dan pembacaan ucapan. Para pendidik kebutuhan khusus yang setuju dengan metode ini memandang bahwa ketergantungan pada bahasa isyarat dan abjad jari membuat eksklusi penyandang tuna rungu dan tuna wicara. Kurangnya orang yang tertarik untuk menggunakan dan memahami komunikasi manusia juga seakan-akan  mebatasi mereka yang menggunakan metode ini sebagai alat utama komunikasinya. Metode oral membantu siswa untuk lebih memahami ucapan orang lain. Siswa akan dilatih untuk memperhatikan gerak bibir, posisi bibir, serta gigi agar dapat memahami apa yang sedang diucapkan. Penyandang tuna rungu juga diajari  cara membaca isyarat-isyarat seperti ekspresi wajah yang akan memudahkan mereka berkomunikasi.

B.  Metode komunikasi total.
Metode komunikasi total ada penggabungan kedua metode sebelumnya. Metode ini dipopulerkan oleh lembaga Maryland School for the Deaf. Lembaga ini membuat gerakan dengan menghapuskan perbedaan teoritis dan metodologis antara pendekatan oral dan manual. Komunikasi total memuat spektrum model bahasa yang lengkap, membedakan gerakan/mimic tubuh anak, bahasa isyarat yang formal, belajar berbicara, membaca ucapan, abjad jari, serta belajar membaca dan menulis. Dengan komunikasi total, anak tuna rungu dan tuna wicara memiliki kesempatan untuk mengembangkan dirinya.

Bastable (1997) juga memberikan pendapat yang sama. Menurutnya, strategi pendidikan yang cocok bagi penyandang tuna rungu dan tuna wicara antaralain melalui membaca isyarat, membaca gerak bibir, verbalisasi oleh lawan bicara dan strategi tertulis.
Pemberian kemampuan pendengaran dilakukan dengan berbagai cara yaitu dengan Amplikasi (Pengerasan suara), Auditory training (Latihan mendengar), dan latihan wicara. Lalu melakukan latihan penggerakan organ bicara (oral motor exercise), melatih anak dengan cara membaca bahasa bibir (lip reading), latihan penempatan articulator dan melakukan berbagai terapi kearah yang akan dicapai sehubungan dengan gejala dan berhubungan dengan nilai bahasa dan bicara.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Pengaruh Kemampuan Berkomunikasi Pada Penyandang Tuna Wicara Dan Tuna Rungu

Edja Sajaah dan Darjo Sukarja (1995, hal. 48), berpendapat bahwa “Pada umunya pendengaran anak tuna rungu berpengaruh terhadap kemapuan berbahasanya, antara lain: Miskin dalam kosakata, sulit mengartikan ungkapan-ungkapan yang mengandung kiasan, sulit mengartikan kata- kata abstrak kurang menguasai irama dengan gaya bahasa”.
Dari ketunarunguan terjadi hambatan pada anak dalam pendidikannya, yaitu:
  1.    Konsekuensi akibat gangguan pendengaran atau tuna rugu tersebut bahwa penderitaannya akan mengalami kesulitan dalam menerima segala macam rangsang atau peristiwa bunyi yang ada di sekitrnya.
 2. Akibat kesulitan menerima rangsang bunyi, konsekuensinya penderita tuna rungu akan mengalami kesulitan pula dalam memproduksi suara atau bunyi bahasa yang terdapat di sekitarnya. (Mohammad Efendi, 2006, hal. 72).


Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa kehilangan pendengaran bagi seseorang sama halnya mereka telah kehilangan sesuatu yang berarti, sebab pendengaran merupakan kunci utama  untuk dapat meniti tugas perkembangan secara optimal. Usaha yang mungkin akan mendorong anak tunarungu  dapat bersekolah dengan cepat adalah mengikuti pendidikan pada sekolah normal dan disediakan program-program khusus bila mereka tidak mampu mempelajari bahan pelajaran seperti anak normal.
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Mendeteksi Ketunarunguan

Sardjono (2000, hal. 48)  menjelaskan ada beberapa cara untuk mendeteksi terjadinya kelainan pendengaran seseorang. Ada pun tes-tes yang diberikan untuk mengetahui kelainan tersebut antara lain :
A.  Tes bisik (Whisper test).
Tes ini dilakukan dengan dilakukan di tempat yang tenag , jarak anak dan pemeriksa antara 5 atau 6 meter , memeriksa dahulu telinga bagian kanan lalu telinga dihadapkan ke arah pemeriksa dan pemeriksa membisikan kata-kata yang harus diterima anak.
B.  Tes detik jam.
Tes ini dilakukan dengan cara mendengarkan detik jam tangan dan menghitung jarak dimana anak tersebut tidak bisa mendengar detik jam tersebut, dilakukan secara bergantian pada kedua telinga secara bergantian lalu membandingkan dengan pemeriksa (pendengaran pemeriksa harus normal).
C.  Tes suara.
Tes ini dilakukan apabila tidak bisa dilakukannya pengetesan pendengaran dengan melakukan tes pertama dan kedua. Tes ini dilakukan dengan cara memanggil anak itu dari belakang atau membunyikan sesuatu dari arah belakang anak , seperti suara bel, suara pecahan piring dan lain lain.
D.  Tes mendengar suara.

Tes ini dilakukan dengan cara pemeriksaan bunyi binatang seperti kambing, ayam, sapi, harimau dan lain lain. Dan kemudian anak diharuskan untuk menyebutkan nama nama binatang tersebut.

Cobalah teman-teman melakukan tes ini pada diri sendiri, dan temukan sendiri jawabanya :)
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Klasifikasi Penyandang Tuna Rungu

Menurut Sardjono (1997, hal. 21) mengklasifikasikan ketunarunguan sebagai berikut :
A.   Berdasarkan bagian alat pendengaran.
Klasifikasi ketunarunguan berdasar pada bagian alat pendengarannya yang rusak dapat dijelaskan kembali menjadi tiga bagian , yaitu tuna rungu konduktif, tuna rungu perseptif, dan gejala tuna rungu campuran (kombinasi ketunarunguan konduktif dan perseptif).

B.   Berdasarkan kelainan pendengaran.
Kelainan jenis ini terbagi atas tiga jenis yaitu kelainan pendengaran conductive lassessensory neural or perceptive losses, dan central deafness.

C.   Berdasarkan gradasi atau tingkatan.
Kelainan jenis ini di bagi lagi menjadi enam bagian pada etiologis, anatomi dan fisiologis ukuran nada . Tuna rungusangat ringan (0-25 dB), tuna rungu rimgan (30-40dB),tuna rungu sedang (40-60 dB), tuna rungu berat (60-70 dB),  tuli berat (70 dB dan lebih parah ), dan pada tingkatan paling akut atau total deafness (tuli total).

D.   Berdasarkan kemampuan mengerti bahasa.
Kelainan ini berdasarkan pada kemampuan mengerti bahasa dan bicara yaitu 10-20 dB (normal) tidak ada hubungan dengan gangguan bicara dan bahasa.  20-35 dB (mild hearing impairment) tidak ada hubungan dengan gangguan bahasa. Tapi mungkin perkembangan bahasa menjadi terlambat. 35-55 dB (mild to moderate hearing impairment) ada beberapa kesulitan artikulasi, perkembangan kata mungkin tidak sempurna. 55-70 dB (moderate hearing impairment) artikulasi dan suara tidak baik dan perbendaharaan kata mungkin tidak sempurna. 70-90 dB (severe hearing loss) artikulasi dan kualitas suara tidak baik. Kalimat dan aspek-aspek bahasa tidak sempurna. 90 dB atau lebih (severe to profound hearing impairment) ritme bicara, suara dan artikulasi tidak baik, bicara dan bahasa harus dikembangkan secara intensif dan seksama. 100 dB atau lebih (profound hearing impairment) sangat perlu bantuan tentang keberadaan pendengarannya, tapi tidak perlu bantuan pengembangan bicara melalui pendengaran.

            Menurut Uden (1997) dalam Murni Winarsih (2007, hal. 26) kita dapat membagi klasifikasi ketunarunguan menjadi tiga bagian yaitu :
A.   Berdasarkan saat terjadinya.
Klasifikasi ini berdasarkan saat terjadinya ketunarunguan, diantaranya terbagi lagi menjadi dua bagian, yaitu ketunarunguan bawaan dan ketunarunguan setelah lahir.Yang dimaksud dengan ketunarunguan bawaan adalah keadaan ketunarungguan disandang ketika anak lahir sudah menyandang tuna rungu  dan indera pendengarannya sudah tidak berfungsi lagi. Sedangkan ketunarunguan setelah lahir artinya terjadi ketunarunguan setelah anak lahir dan diakibatkan oleh kecelakaan atau oleh suuatu penyakit.

B.   Berdasarkan tempat kerusakan.
Klasifikasi ini terbagi kembali menjadi dua , yaitu kerusakan pada telinga luar dan telinga tengah atau yang sering disebut bagian konduktif yang mengakibatkan menjadi tuli konduksi, dan yang kedua adalah pada bagian telinga dalam yang menyerang pada bagian sensori neural yang mengakibatkan kerusakan pendengaran pada bagian persepsinya atau yang sering disebut tuli sensoris.

C.   Berdasarkan taraf penguasaan bahasa.

Kalsifikasi ini membagi ketunarunguan menjadi dua, yaitu tuna rungu pra bahasa dan purna bahasa. Ketunarunguan pra bahasa adalah ketunarunguan yang terjadi pada mereka yang mengalami tuna rungu ketika belum terkuasainya bahasa. Sedangkan tuli purna bahasa adalah ketunarunguan yang terjadi setelah mereka mengenal bahasa dan telah menguasainya dan telah menerapkannya dalam kehidupannya yang berlaku dilingkungannya.
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Faktor-Faktor Penyebab Tuanarungu & Tunawicara

Menurut Sardjono (1997, hal. 10-20) menjelaskan faktor-faktor penyebab ketunarunguan anak, yaitu sebagai berikut:

A.  Faktor-faktor sebelum anak dilahirkan (Pre Natal)
Faktor-faktor penyebab ketunarunguan ketika anak belum dilahirkan diantaranya karena faktor keturunan (Hereditas), cacat air atau yang biasa disebut campak (Rubella, Geuman measles), terjadinya keracunan darah (Toxaemia), penggunaan obat-obatan yang melampaui batas seperti penggunaan pilkina dalam jumlah yang besar, kekurangan oksigen (Hipoxia), dan terjadi karena kelainan pada organ pendengaran sejak lahir.

B.  Faktor-faktor saat anak dilahirkan (Natal). 
Faktor-faktor penyebab ketunarunguan pada saat anak dilahirkan diantaranya karena faktor Rheus (Rh) ibu dan anak yang sejenis, anak yang lahir sebelum waktunya (pre mature), anak lahir menggunakan alat bantu tang (forcep), dan proses kelahiran yang terlalu lama dapat mengakibatkan anak menjadi tuna rungu.

C.  Faktor-faktor sesudah anak dilahirkan (Past Natal). 
Faktor-faktor penyebab ketunarunguan ketika anak sudah dilahirkan diantaranya karena terjadinya infeksi pada bagian-bagian organ pendengarannya, peradangan pada selaput otak (Meningitis), tuna rungu perseptif yang bersifat keturunan, dan Otitis media yang kronis dapat mengakibatkan terjadinya ketunarunguan.

Faktor-faktor Penyebab Tuna Wicara

Sardjono juga memaparkan faktor yang bisa menyebabkan tuna wicara diantaranya karena tekanan darah yang terlalu tinggi (Hipertensi), faktor genetik atau keturunan dari orangtua, keracunan makanan, penyakit Tetanus Neonatorum yang menyerang bayi pada saat bayi baru lahir, biasanya karena pertolongan persalinan yang tidak memadai, dan penyakit infeksi akut pada saluran pernafasan bagian atas (Difteri).
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS
Free Website TemplatesFreethemes4all.comFree CSS TemplatesFree Joomla TemplatesFree Blogger TemplatesFree Wordpress ThemesFree Wordpress Themes TemplatesFree CSS Templates dreamweaverSEO Design